”Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla memaafkan kesalahan (yang tanpa sengaja) dan (kesalahan karena) lupa dari umatku serta kesalahan yang terpaksa dilakukan” (HR. Ibnu Majah)
Oleh : Ridwan
Dikisahkan ada seorang pemuda yang bertekad ingin berhijrah memperbaiki seluruh kebiasaan hidupnya yang buruk, ia berusaha meniti jalan kebaikan atas seluruh kualitas kehidupannya yang tiada memiliki arti dan kehilangan orientasi. Kini ia menyadari sepenuhnya bahwa meski ia telah muslim sedari lahir, namun keislamannya hanyalah sebatas “Islam Keturunan”, berislam yang sifatnya hanya sebatas biologis pewarisan dari orangtua, bukanlah berislam yang ideologis. Tekadnya kini sudah bulat, perbaikan hidup itu dimulai dari hadirnya setiap saat dalam shalat 5 waktu di mesjid.
Waktu itu adalah hari jum’at, tidak berpikir panjang ia segera bergegas mandi bersuci, memakai pakaian terbaiknya, pakaian koko yang selama ini telah dicemoohnya kini menjadi baju kebesarannya. Langkah kaki yang penuh semangat perlahan mengarah ke sebuah mesjid yang asri, rumah Allah Ta’ala tempat berkumpulnya manusia yang ingin menyucikan diri di tempat suci. Tidak lama menunggu seorang ustadz tampil ke atas mimbar menyampaikan materi khutbah yang sudah dipersiapkan dengan sistematis. Khutbahpun dimulai dengan penyampaian yang nyaris sempurna, jamaah yang hadir saat itu mendengar dengan seksama isi ceramah yang tengah disampaikan, hingga akhirnya suasana kekhusuan mereka terganggu dengan dering suara HP yang dibawa oleh seorang jamaah yang lupa mensilent atau mematikan alat komunikasinya, pada saat yang sama pandangan seluruh jamaah dan khotib tertuju kepada sang pembawa HP yang tiada lain ternyata seorang pemuda “Hijrah” yang kisahnya disebutkan diawal cerita di atas.
Menyikapi kejadiaan ini pandangan sang khotib kini tertuju kepada pemuda tersebut, ucapan dan sindiran sinis diarahkan kepadanya, hingga kalimat yang pedaspun keluar dari lisannya di tengah-tengah forum yang dikatakan mulia, sikap yang sama terlihat juga dari jamaah shalat jum’at yang hadir saat itu, bahkan ketika shalat jum’at sudah selesai tidak sedikit jamaah yang mencemooh, sampai akhirnya dengan langkah gontai pemuda tersebut keluar dari mesjid, perasaan marah juga geram menggelayuti hati serta pikirannya, mengapa tiada satupun orang yang mengerti dengan ketidaksengajaannya, ini adalah hari pertamanya ia mendatangi mesjid, tempat berkumpulnya manusia-manusia pilihan dengan kesholehannya, namun ternyata hanya cacian dan makian yang ia dapati, seolah tiada pintu maaf atas ketelodarannya, seolah masa lalunya yang kelam kian menjustifikasi kebobrokan moralnya, terlebih dengan kejadian yang menimpanya di hari ini.
Babak kehidupan baru berlanjut atas pemuda ini, jikalau di masa lalunya ia adalah sosok pemuda yang tidak diharapkan kehadirannya, lantas di hari jum’at tersebut ia mendapatkan suasana ketergugahan di hatinya untuk segera bertaubat, namun ternyata sesudah shalat jum’at ditunaikan, kini hatinya terisi kembali dengan kebencian serta rasa sakit yang tiada tara dipermalukan oleh sang khotib bersama seluruh jamaahnya di mesjid, dan kini ia kembali ke jalan yang pernah ia tempuh di masa kelamnya, ia menanggalkan seluruh pakaian kebaikannya, dan diskotik menjadi tempat pelampiasannya. Terdapat sebuah alasan yang logis kenapa ia kembali ke tempat kotor itu, ia teringat dengan kali pertama ia datang ke tempat itu, secara tidak sengaja ia menjatuhkan sebuah gelas yang tersaji dengan minuman keras didalamnya, sontak pelayan diskotik menghampirinya dengan ekspresi penuh bersahabat dan dengan sigap bertanya kepada dirinya, adakah tubuhnya terluka akibat serpihan kaca gelas yang pecah?, di sana ia “seolah” mendapat teman sehati, yang mengerti dengan segala kelakuannya, dan tiada satupun orang yang hadir di tempat itu mencacimaki atas keteledorannya memecahkan gelas kaca, berbeda dengan kejadian di mesjid yang menurutnya seolah tidak bersahabat atas kesalahannya tidak mensilent HP di kala khotib sedang berceramah. Setanpun kian menghembuskan bisikan kotor kepada pemuda itu bahwa belum tentu kumpulan manusia yang sholeh di mesjid jauh lebih bijak sikapnya dibandingkan dengan kumpulan manusia hina yang tengah berada di salah satu tempat yang paling kotor di dunia yang bernama “Distokit” atau ”BAR”. Naudzubillah min dzalik, begitu pintarnya setan memanfaatkan setiap kesempatan emas yang ada !.
Menyikapi kesalahan manusia di kehidpuan sehari-hari, menuntut adanya pemikiran yang jernih sekaligus solusi nyata dalam meluruskannya, terlebih penyikapan terhadap sebuah amalan yang didasari atas keawaman ilmu beragama atau ketidaksengajaan. Hal ini ditujukan agar mencegah sebuah kemaksiatan tidak berimbas melahirkan sebuah dosa dengan tingkat kemadhorotan yang jauh lebih besar dari sebelumnya. Oleh karena itu, sangatlah baik kita berkaca kepada sejarah kehidupan baginda Rasululloh -shalallahu ‘alaihi wa sallam-, bagaimana cara beliau menyikapi sebuah kekeliruan perbuatan yang terjadi di tengah-tengah kehadirannya.
Adalah hadits dari Anas bin Malik -semoga Allah meridhoinya-, ia berkata, “Tatkala kami di masjid bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba datang seorang A’rabi (Arab dusun) kencing di pojok masjid, maka para sahabat menghardiknya, “Mah mah (pergi/tinggalkan)”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lantas berkata, “Jangan kalian hardik, biarkan dia (jangan putus kencingnya)”. Para sahabat membiarkan A’rabi tersebut untuk menunaikan kencingnya, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memanggilnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Sesungguhnya masjid-masjid tidak boleh untuk kencing, tetapi dipergunakan untuk berdzikir kepada Allah, shalat dan membaca Al Qur’an”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada para sahabat-sahabatnya, “Sungguh kalian diutus untuk memudahkan dan tidak untuk menyulitkan, guyurlah air kencing tadi dengan satu ember air”. A’rabi itu berkata, “Ya Allah, rahmatilah aku dan Muhammad, dan jangan Engkau rahmati selain kami”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sungguh engkau telah mempersempit perkara yang luas.”(HR. Bukhori dan Muslim)
Sepenggal kisah ini membuktikan derajat kemuliaan akhlak Rasulullah, dalam situasi yang sangat ganjil sekali pun, Rasulullah tetap menampilkan sisi kematangan beliau dalam berpikiran serta berpandangan jernih, dan memecahkan persoalan dengan tanpa memberatkan dan menyakiti perasaan pelaku, ketika beliau melihat bahwa yang dilakukan oleh orang tersebut atas dasar ketidaksengajaan serta kejahilannya dalam ilmu agama, hingga akhirnya do’a keluar dari lisan Arab Badui tersebut “Ya Allah, rahmatilah aku dan Muhammad, dan jangan Engkau rahmati selain kami.”
Kisah seorang pemuda yang kami ceritakan di awal, mungkin tidak berakhir buruk kepada pemahama serta keyakinannya, seandainya sang khotib tidak terburu-buru menghardiknya di tengah kumpulan jamaah yang hadir saat itu, kiranya cukup bagi sang khotib memanggil pemuda tersebut usai shalat ditunaikan, nasehat disampaikan secara berduaan, tidak di khalayak umum, insyaAlloh nasehatnya akan jauh diterima. WaAllahu a’lam bisshowab.