“Sesungguhnya setiap amalan tergantung kepada niatnya, setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai yang ia niatkan” (HR. Bukhori dan Muslim)
Oleh : Ridwan
Namanya Khalid bin zaid, namun masyarkat di masanya mengenal dengan panggilan Abu Ayyub al-Anshari -semoga Allah Ta’ala meridhoinya-, dari nama panggilannya bisa ditebak ia berasal dari keturunan bangsa Anshar (Madinah), suku yang amat berjasa terhadap perjalanan dakwah nabi Muhammad -shalallahu ‘alaihi wa sallam- serta kaum Muslimin pada umumnya. Ketika nabi Muhammad -shalallahu ‘alaihi wa sallam- berhasil memasuki kota Madinah pada saat fase hijrah terjadi, adalah sahabat Abu Ayyub yang mendapatkan keberkahan agar rumahnya dijadikan tempat tinggal nabi Muhammad -shalallahu ‘alaihi wa sallam- sementara waktu sekitar 6 bulan nabi Muhammad -shalallahu ‘alaihi wa sallam- bermukim di rumahnya, sebuah kaberkahan yang tiada tara di kala seluruh penduduk Muslim di kota itu berharap dengan sangat agar kediaman mereka yang terpilih.
Suatu kali nabi Muhammad -shalallahu ‘alaihi wa sallam- pernah bersabda kepada beliau, “Jika engkau shalat, maka shalatlah layaknya orang yang akan meninggal dunia, jangalah sekali-kali engkau berkata-kata yang menyebabkanmu harus meminta maaf setelah itu, jangan pula engkau mengharapkan apa yang di tangan orang lain.” Atas nasehat yang dipegangnya itu, sahabat Abu Ayyub berusaha semaksimal mungkin agar tidak pernah menimbulkan malapetaka dan fitnah. Hal ini setidaknya terlihat ketika tersebarnya berita Hoaks/palsu yang menimpa istri nabi Muhammad -shalallahu ‘alaihi wa sallam- yang mulia bernama Aisyah binti Abu Bakar dan sahabat nabi yang bernama Shafwan bin Muatthil -semoga Allah Ta’ala meridhoi mereka semua-, dimana keduanya dituduh telah berbuat zina, dan hampir saja tidak ada tempat tinggal kaum muslimin di kota Madinah, melainkan berita bohong ini masuk ke dalamnya sebagai tanda ujian keimanan bagi mereka semua.
Dari semua rumah para sahabat yang ada pada saat itu, adalah kediamanan Abu Ayyub Ai-Anshari menjadi salah satu simbol suri teladan bagi kita selaku kaum muslimin ketika menyikapi sebuah berita yang belum jelas juntrungannya, apalagi jika berita tersebut menyangkut keshormatan seorang muslim. Sabda nabi Muhammad -shalallahu ‘alaihi wa sallam- menyatakan:
“Sesuungguhnya riba itu memiliki 73 pintu, riba yang paling ringan dosanya seperti seorang anak menzinai ibu kandungnya sendiri, dan riba yang paling berat adalah mencederai kehormatan seorang muslim’ (HR. Hakim).
Dikisahkan terjadi dialog antara istri Abi Ayyub dengan suami dalam menyikapi kasus berita hoaks di atas, adalah sang istri berkata kepada suaminya, “Tidakkah engkau mendengar wahai suami terkait berita yang menimpa Aisyah akhir-akhir ini?,” dengan jawaban tegas sang suami menjawab, “Jika engkau merasakan apa yang sedang menimpa istri nabi, apakah engkau punya niatan untuk berbuat mesum dengan laki-laki yang lain ?,”. Sang Istri dengan lugas menjawab, “Tentu saja tidak, saya adalah wanita baik-baik, tidak mungkin saya melakukan tindakan hina lagi keji !,” Abu Ayyub dengan tegas menjawab, “Demi Allah wahai istriku, sungguh Aisyah jauh lebih mulia dari pada dirimu, sebab ia adalah istri seorang nabi, wanita yang secara langsung dipilih Allah Ta’ala untuk menjadi pendamping utusan-Nya, jikalau wanita seperti engkau tidak terbesit untuk melakukan perzinaan, apalagi bagi seorang istri nabi yang bernama Aisyah!.” Atas ucapan beliau tersebut kepada istrinya, Allah Ta’ala begitu sangat menghargai sikap hamba-Nya yang mulia itu, hingga kemudian menurunkan firman-Nya sebagai pelajaran bagi seluruh kaum Muslimin terkait sikap dalam menghadapi sebuah berita yang menyangkut kehormatan seorang pribadi Muslim:
“Dan mengapa kamu tidak berkata-kata di waktu mendengar berita bohong itu :, “Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha suci Engkau ya Alloh, sesungguhnya ini adalah dusta yang sangat besar” (QS. An-Nuur : 16).
Menyikapi sejarah perjalanan hidup para sahabat nabi Muhammad -shalallahu ‘alaihi wa sallam- terdapat begitu banyak hikmah dan pelajaran baik yang bisa kita petik, demikian halnya yang kita dapati dari perjuangan dakwah seorang Abu Ayyub al-Anshari, di akhir hayatnya seolah ia ingin membuktikan apa yang pernah disabdakan oleh Rasululloh -shalallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa kelak kota Konstantinopel (Kota Istanbul-Turki), selaku ibu kota Romawi timur akan berhasil ditaklukan oleh kaum Muslimin. Berita ghaib ini tidak pernah luput dari ingatannya, hingga akhirnya di kala usia beliau sudah senja tepatnya di masa pemerintahan Yazid bin Muawiyah -semoga Alloh Ta’ala meridhoinya-, beliau turut serta dalam usaha penaklukan kota Konstantinopel, meski akhirnya beliau harus meraih kesyahidan dalam peperangan suci tersebut. Ketika beliau akan menghembuskan nyawa terakhirnya, beliau memberikan wasiat kepada Yazid bin Muawiyah agar jenazahnya dibawa oleh kudanya sejauh jarak yang dapat ditempuh ke arah daerah musuh, dan disanalah jenazahnya dikebumikan tepatnya berdekatan secara langsung dengan benteng konstantinopel. Wasiat beliau kemudian ditunaikan, dan Yazid bin Muawiyyah serta merta mengultimatum pemimpin Romawi saat itu agar tidak ada satu orangpun yang berani mengusik kuburan tersebut, menariknya dikemudian hari sebelum kota istanbul berhasil ditaklukan, kuburan tersebut dianggap sebagai makam keramat yang didalamnya terdapat kuburan manusia suci !.
Ada hal yang menarik ketika wasiat dari Abu Ayyub tersebut dilontarkan, ia mengutarakan alasanya, bahwa kelak ketika kota tersebut jatuh kepada kaum Muslimin ia sangat berharap bisa meraih pahala selayaknya yang didapatkan oleh setiap kaum Muslimin yang berusaha dan berhasil menaklukan kota tersebut, Abu Ayyub meminta kepada Allah Ta’ala agar niatnya itu dapat menyertai kaum muslimin di setiap masanya dalam penaklukan kota yang dijanjikan itu, hingga akhirnya pada 1453 M oleh dinasti Utsmaniyyah kota itu berhasil direbut, dan insyaAlloh niatan serta do’a Abu Ayyub al-Anshari akan dipenuhi oleh Allah Ta’ala, meski beliau sudah wafat pada saat itu, namun niatan beliau yang luhur menembus lorong waktu menyertai kaum Muslimin yang berhasil menaklukan kota itu sesuai dengan yang dijanjikan oleh Allah Ta’ala dan rasulnya, kita-kira 800 tahun setelah wafatnya Abu Ayyub Al-Anshari, dan sungguh menjadi kenikmatan tersendiri, ketika saat kunjungan penulis ke Turki tepatnya 3 pekan yang lalu, kami diberikan kesempatan oleh Allah Ta’ala agar bisa langsung berziarah ke makamnya, sekaligus napak tilas dari perjalanan hidup beliau yang telah diisi dengan perjuangan serta pengorbanan demi meraih cinta Allah Ta’ala serta rasul-nya.
waAllahu a’lam bisshowab.